Jakarta - Nama perusahaan pembuat film 'si Unyil' yaitu Perum Produksi Film Negara (PFN) kini kembali mencuat terkait kabar sakitnya tokoh pencipta Si Unyil, Suyadi atau lebih dikenal sebagai Pak Raden.
Bagaimana kini nasib BUMN perfilman tersebut? Berdasarkan penelusuran detikFinance, Gedung PFN di Jl. Otto Iskandardinata (Otista) Raya No. 125, Jakarta Timur 13330 terlihat kumuh dan usang.
"Ini bangunan sejak dulu zaman Belanda, dari Belanda diserahin ke Jepang, dari dulu memang buat film," kata salah satu seorang tenaga keamanan yang tak disebutkan namanya kepada detik Finance, Rabu (18/4/2012)
Sumber itu hanya terbatas membeberkan kisah silam perjalanan PFN. Menurutnya BUMN film ini pernah berjaya membuat film-film fenomenal seperti film G30S/PKI, film serial anak-anak Si Unyil, namun kini semua itu tinggal kenangan.
"Susah sekarang, banyak sekarang video. Mahal kalau bikin film. Dulu kan ada G 30 S/PKI, Si Unyil, film angkatan laut," kata sumber itu.
Setelah berbincang, detikFinance mencoba menelusuri bangunan kantor PFN. Semakin dekat, kantor ini terlihat usang dan tak terawat. Nampak juga studio terlihat kotor. Bahkan sebuah kantin di dekat studio hanya menjual es teh manis, kopi, dan mie rebus.
Bagian dalam ruang-ruang kantor terlihat tak terawat, banyak lumut, lahan parkir yang luas tidak tertata dengan rapih. Aktivitas manusia di areal studio PFN relatif sedikit tak banyak orang lalu lalang.
Sebelumnya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memberikan kesempatan restrukturisasi kepada PFN supaya terhindar dari likuidasi. Selain itu, pemerintah juga melakukan hal yang serupa terhadap PT Survei Udara Penas (Persero).
Pemerintah memang berencana melikuidasi PFN karena selama ini sudah tidak lagi memproduksi film setelah serial 'Si Unyil' bertahun-tahun lalu. PFN juga terlilit masalah utang yang nilainya diperkirakan Rp 7,5 miliar.
Perjalanan PFN dimulai dengan pendirian perusahaan perfilman oleh Albert Ballink pada 1934. Perusahaan ini bernama Java Pasific Film, namun pada 1936 berubah menjadi Algemeene Nederlands Indiesche Film (ANIF).
Perusahaan ini memfokuskan diri pada pembuatan film cerita dan dokumenter. Peristiwa pendudukan Jepang di Indonesia pada 1942 disertai dengan pengambilalihan seluruh kekayaan yang berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda oleh pihak Jepang, salah satunya adalah Algemeene Nederlands Indiesche Film (ANIF).
Setelah terjadinya peristiwa tersebut, Jepang kemudian mendirikan sebuah perusahaan perfilman yang diberi nama Nippon ii Eiga Sha yang berada di bawah pengawasan Sendenbu.
Film yang diproduksi Nippon Eiga Sha pada umumnya bertujuan sebagai alat propaganda politik Jepang. Kemudian perusahaan ini berganti nama menjadi Berita Film Indonesia (BFI).
Terbentuknya BFI dilatarbelakangi oleh adanya gerakan karyawan film yang bekerja pada Nippon Eiga Sha. Adanya peristiwa penandatanganan draft persetujuan penyerahan Nippon Eiga Sha kepada perwakilan Indonesia pada 6 Oktober 1945 semakin mempermudah gerak para karyawan BFI untuk melakukan peliputan berbagai peristiwa bersejarah.
Pada 1950, BFI berganti nama menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN) namun penyempurnaan EYD membuat namanya berubah kembali menjadi Perusahaan Film Negara (PFN).
Pergantian nama perusahaan kembali terjadi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 55 B/MENPEN/1975 pada tanggal 16 Agustus 1975. Berdasarkan surat keputusan ini maka secara resmi PFN berubah menjadi Pusat Produksi Film Negara (PPFN).
Pergantian nama kembali terjadi seiring dengan berbagai usaha yang dilakukan untuk mengembangkan perusahaan dan agar perusahaan dapat dikelola secara profesional dengan menggunakan prinsip-prinsip yang dapat memberikan keuntungan bagi negara serta mampu untuk mendiri.
Kemudian PPFN merubah statusnya menjadi Perum sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1988 yang dikeluarkan pada tanggal 7 Mei 1988. Dengan demikian resmilah PPFN berganti nama menjadi Perusahaan Umum Produksi Film Negara (Perum PFN).
film - movie - serial - television - news update
Bagaimana kini nasib BUMN perfilman tersebut? Berdasarkan penelusuran detikFinance, Gedung PFN di Jl. Otto Iskandardinata (Otista) Raya No. 125, Jakarta Timur 13330 terlihat kumuh dan usang.
"Ini bangunan sejak dulu zaman Belanda, dari Belanda diserahin ke Jepang, dari dulu memang buat film," kata salah satu seorang tenaga keamanan yang tak disebutkan namanya kepada detik Finance, Rabu (18/4/2012)
Sumber itu hanya terbatas membeberkan kisah silam perjalanan PFN. Menurutnya BUMN film ini pernah berjaya membuat film-film fenomenal seperti film G30S/PKI, film serial anak-anak Si Unyil, namun kini semua itu tinggal kenangan.
"Susah sekarang, banyak sekarang video. Mahal kalau bikin film. Dulu kan ada G 30 S/PKI, Si Unyil, film angkatan laut," kata sumber itu.
Setelah berbincang, detikFinance mencoba menelusuri bangunan kantor PFN. Semakin dekat, kantor ini terlihat usang dan tak terawat. Nampak juga studio terlihat kotor. Bahkan sebuah kantin di dekat studio hanya menjual es teh manis, kopi, dan mie rebus.
Bagian dalam ruang-ruang kantor terlihat tak terawat, banyak lumut, lahan parkir yang luas tidak tertata dengan rapih. Aktivitas manusia di areal studio PFN relatif sedikit tak banyak orang lalu lalang.
Sebelumnya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memberikan kesempatan restrukturisasi kepada PFN supaya terhindar dari likuidasi. Selain itu, pemerintah juga melakukan hal yang serupa terhadap PT Survei Udara Penas (Persero).
Pemerintah memang berencana melikuidasi PFN karena selama ini sudah tidak lagi memproduksi film setelah serial 'Si Unyil' bertahun-tahun lalu. PFN juga terlilit masalah utang yang nilainya diperkirakan Rp 7,5 miliar.
Perjalanan PFN dimulai dengan pendirian perusahaan perfilman oleh Albert Ballink pada 1934. Perusahaan ini bernama Java Pasific Film, namun pada 1936 berubah menjadi Algemeene Nederlands Indiesche Film (ANIF).
Perusahaan ini memfokuskan diri pada pembuatan film cerita dan dokumenter. Peristiwa pendudukan Jepang di Indonesia pada 1942 disertai dengan pengambilalihan seluruh kekayaan yang berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda oleh pihak Jepang, salah satunya adalah Algemeene Nederlands Indiesche Film (ANIF).
Setelah terjadinya peristiwa tersebut, Jepang kemudian mendirikan sebuah perusahaan perfilman yang diberi nama Nippon ii Eiga Sha yang berada di bawah pengawasan Sendenbu.
Film yang diproduksi Nippon Eiga Sha pada umumnya bertujuan sebagai alat propaganda politik Jepang. Kemudian perusahaan ini berganti nama menjadi Berita Film Indonesia (BFI).
Terbentuknya BFI dilatarbelakangi oleh adanya gerakan karyawan film yang bekerja pada Nippon Eiga Sha. Adanya peristiwa penandatanganan draft persetujuan penyerahan Nippon Eiga Sha kepada perwakilan Indonesia pada 6 Oktober 1945 semakin mempermudah gerak para karyawan BFI untuk melakukan peliputan berbagai peristiwa bersejarah.
Pada 1950, BFI berganti nama menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN) namun penyempurnaan EYD membuat namanya berubah kembali menjadi Perusahaan Film Negara (PFN).
Pergantian nama perusahaan kembali terjadi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 55 B/MENPEN/1975 pada tanggal 16 Agustus 1975. Berdasarkan surat keputusan ini maka secara resmi PFN berubah menjadi Pusat Produksi Film Negara (PPFN).
Pergantian nama kembali terjadi seiring dengan berbagai usaha yang dilakukan untuk mengembangkan perusahaan dan agar perusahaan dapat dikelola secara profesional dengan menggunakan prinsip-prinsip yang dapat memberikan keuntungan bagi negara serta mampu untuk mendiri.
Kemudian PPFN merubah statusnya menjadi Perum sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1988 yang dikeluarkan pada tanggal 7 Mei 1988. Dengan demikian resmilah PPFN berganti nama menjadi Perusahaan Umum Produksi Film Negara (Perum PFN).
film - movie - serial - television - news update
0 comments:
Post a Comment